Kain Tapis Lampung
Mar-31-2009 By lili
http://lili.staff.uns.ac.id/ |
Berdasarkan
seluruh pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa
terbentuknya kain tapis Lampung melalui tahapan dan periodisasi waktu
yang panjang. Dalam proses perjalanannya terjadi berbagai penyempurnaan,
baik dari aspek teknik dan keterampilan pembuatan, bentuk motif yang
diterapkan, dan metode penerapan motif pada kain dasar tapis,
menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Perjalanan
sejarah perkembangan terbentuknya ragam hias, kain tapis Lampung
mendapat berbagai pengaruh kebudayan lain, seiring dengan terjalinnya
kontak, interaksi, dan komunikasi masyarakat adat Lampung dengan
kebudayaan luar. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan
gaya seni hias kain tapis antara lain, kebudayan Dongson dari daratan
Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa.
Melalui
proses yang panjang, akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias
kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama. Unsur-unsur asing yang
datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin
memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan
tersebut terpadu dan terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak
dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas.
Nilai
estetis kain tapis menyatu dalam beberapa azas dan ketentuan, yaitu (1)
azas kesatuan organis, (2) azas tema atau konsep, (3) azas
keseimbangan, (4) azas bertingkat, (5) azas kerumitan, dan (6) azas
kesungguhan.
Kain
tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai
lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran
dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan
status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada
kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain
dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta
Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam
berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang
serupa pusaka keluarga.
Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistem kepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki (matrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepadun tingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh (kampung), (2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang suku yang membawahi beberapa nuwow balak
(rumah adat). Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan
adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat
yang menyesuaikan status sosialnya dalam masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.
Dalam
rentang perjalanannya, kain tapis tidak hanya menunjukkan suatu proses
kontinum kelangsungannya, tetapi juga menampakkan terjadinya perubahan
dan pengembangan dalam banyak aspek, seperti pada aspek fungsinya kain
tapis berubah dari benda sacral yang terkait erat dengan adat dan
kepercayaan masyarakat Lampung berubah menjadi benda profan dan sekuler
yang berfungsi untuk komoditi pasar. Pada aspek produknya kain tapis
tidak hanya berupa kain sarung adat, tetapi sudah mengalami modivikasi
dan diversivikasi sehingga tercipta berbagai produk seni kerajinan kain
tapis seperti, busana pesta, busana muslim, hiasan dinding, kaligrafi,
partisi ruangan, perlengkapan kamar tidur, tas, dompet, kopiah, tempat
tisu, dan sebagainya.
Pada
aspek bentuk motif yang diterapkan tidak terjadi perubahan frontal,
secara umum bentuk motifnya masih sama hanya terjadi perubahan seiring
perubahan bentuk produk yang disertai pengembangan, modivikasi, variasi,
penyederhanaan, dan sedikit penambahan. Perubahan signifikan terjadi
pada penghilangan makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya.
Motif kain tapis sekarang hanya dilihat dari aspek keindahannya semata.
Perubahan
yang terjadi pada kain tapis Lampung terjadi seiring dengan perubahan
masyarakat pendukungnya, seperti adanya interpretasi dan persepsi
masyarakat Lampung terhadap kain tapis, keterbukaan masyarakat lampung
terhadap berbagai inovasi, ide-ide, dan kreasi baru yang tercermin pada
sifat dan watak nemui nyimah, dan nengah nyappur.
Kecintaan, keinginan, dan sikap progresif para perajin kain tapis yang
didukung bakat seni dan keterampilan teknik yang diturunkan generasi
sebelumnya untuk melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan seni
kerajinan kain tapis.
Faktor
eksternal yang mendorong terjadinya perubahan seni kerajinan kain tapis
Lampung, selain berkembangnya dunia pariwisata daerah Lampung adalah
adanya lembaga atau institusi pemerintah maupun swasta di Lampung yang
berusaha mengembangkan seni kerajinan kain tapis dengan melakukan
berbagai usaha, seperti program pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan
untuk dapat meningkatkan kemampuan teknis, jiwa kewirausahaan, maupun
manajemen usaha para perajin kain tapis. Pemerintah juga telah mengambil
kebijakan penting dengan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan
memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan
pemasaran.
Pembubaran lembaga adat Lampung (kepunyimbangan)
oleh pemerintah juga ikut mendorong perubahan yang terjadi pada kain
tapis. Dengan berubahnya struktur pemerintahan, maka lembaga dan
organisasi sosial dalam masyarakat adat tidak lagi memiliki legitimasi.
Lembaga adat (kepunyimbangan) yang berfungsi sebagai pagar sekaligus kontrol dalam rangka melindungi stabilitas atau equilibrium
masyarakat tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Namun akan lebih
baik seandainya keputusan pemerintah tentang penghapusan lembaga adat
ditinjau kembali, karena adanya lembaga tersebut akan semakin
memperkokoh eksistensi kain tapis Lampung.
Selain
dampak sosial budaya yang berhasil melestarikan dan mempertahankan
kelangsungan seni kerajinan kain tapis, perubahan yang terjadi pada kain
tapis juga mempunyai dampak sosial ekonomi. Dampak perubahan kain tapis
dari aspek ekonomi sudah jelas pada meningkatnya penghasilan para
perajin.
Posted in: Kain Tapis
Soal Mid Test
Mar-31-2009 By lili
Tita untuk Farida Wardhani
Saat
ini, aku hanya ingin menceritakan tentang salah satu pameran tunggal
yang membuatku merasa terpukul. Waktu melihat karya seniman China, Zhang Peng, kelahiran 1981 tinggal di Beijing dan kebetulan sedang berpameran di galeri “Art Seasons” The Box-Singapore.
Karyanya
berupa foto-foto yang dicetak dengan ukuran yang lumayan besar. Di
dalam karya-karyanya, seorang anak perempuan (konon, usia empat tahun),
yang bukan saja rata-rata didandani pakaian formal perempuan dewasa,
bahkan ada yang didandani menggunakan gaun pengantin dan mahkota, ukuran
orang dewasa. Sehingga ia tampak seperti sudah gadis, walaupun jelas,
ia demikian belia. Dengan pemerah bibir dan pewarna, kelopak mata,
kemerahan, belepotan. Di mulutnya, bagai bibir berlipstik yang telah
dilumat. Dan disekitar kelopak matanya sedemikian rupa hingga jadi
tampak memar.
Suasana
yang dibentuk di dalam karya itu, begitu dramatis. Drama dalam bingkai
itu, diciptakan dari detil-detilnya. Anak itu menggunakan pakaian
sekujur panjang perempuan dewasa, hingga sisa gaun dari tubuhnya yang
mungil, dibiarkan menjuntai jauh ke bawahnya, lebih dari dua kali
melampaui ketinggian anak itu sendiri. Dari sisa gaun yang tak terisi
tubuh anak itu, meninggalkan kekosongan. Tetesan, cairan menggenang,
sapuan, percikan ataupun belepotan dari warna merah, mengingatkanku pada
warna darah.
Tergeletak
di atas sofa yang begitu besar untuk ukuran tubuhnya. Dalam beberapa
foto, sofanya dilapisi kain berbulu. Kain berbulu, bagi orang sepertiku
yang tinggal di negara tropis, lebih terbiasa dengan suhu yang lebih
panas ketimbang dinginnya salju, jadi begitu artifisial. Begitu
dibuat-buat. Tampak berlebihan dan palsu (begitupun jika hadir di
Singapura, aku kira kurang lebih sama panas suhu udaranya dengan
Indonesia). Dengan warna-warna jambon, maupun ragamnya, hingga merah
hati.
Lilitan
perhiasan yang biasa digunakan orang dewasa. Atau menggunakan baju
balet putih dengan sepatunya yang berwarna merah, tengah duduk
kelelahan. Berkaus pendek dan tengah terendam dalam bak mandi dengan air
setengah badan. Dalam air merah pekat dengan tubuhnya tampak telanjang
sebatas ketiak. Punggung telanjang dengan goresan merah bagai bekas
pecutan. Dalam taburan kelopak mawar merah dengan tubuh yang agak
mengambang. Atau lain gambar, dengan butiran mutiara palsu berwarna abu
ataupun agak kejinggaan. Dan yang paling kacau, menurutku, ketika
perutnya menggelembung seperti tengah hamil matang disandang tubuhnya
yang masih kerempeng, berdada rata, masih jauh dari sebutan cukup umur.
Pada
diri gadis mungil itu, kurasakan, kelelahan mental yang sangat. Apa
yang terjadi dengannya, sangat mungkin adalah pemanfaatan atas
kelemahannya. Pemanfaatan yang seperti ini, kukira, hanya bisa
diciptakan oleh orang-orang dewasa, yang jauh lebih tua dan lebih kuat
darinya. Tapi masalah dalam karya ini adalah: anak itu seolah mau
melakukannya. Karena sikapnya yang begitu sempurna sebagai model, seolah
bersedia terus-menerus berpose dengan berbagai cara, dan dia
sungguh-sungguh, luar biasa, tampak kuat seolah menantang permintaan
apapun yang datang kepadanya, dan dia seolah benar-benar melakukannya.
Tidak ada perlawanan dan penolakan karena semuanya terlihat, bahwa dia,
siap dengan segala risikonya. Apa adanya. Seperti semua itu bagian
pekerjaan yang semestinya harus dia lakukan.
Di
dalam seluruh karya itu, bola mata si gadis diperbesar, seperti
setengah tercengang dengan tatapan mata ‘tak bersalah’, tampak polos,
seolah pasrah tapi juga tegar, bagai tak mengerti tapi menantang, tampak
lemah walau lebih dekat dengan menyebutnya tabah.
Seolah
tengah menatap aku, tapi juga tidak sungguh melihat aku. Tatapannya
seolah menembus yang dilihatnya. Nyaris seperti perasaan yang kudapat
dari mata Monalisa-nya Da Vinci. Tapi tidak juga persis demikian. Walau
sama-sama menerawang. Ada hal mendasar yang membedakannya. Tatapan orang
dewasa dan tatapan yang datang dari bola mata anak-anak. Tatapan orang
dewasa lebih menyatakan kepadaku bahwa itu adalah pilihan, kalaupun
salah. Sedangkan tatapan menerawang anak ini, lebih tampak seperti
tuduhan, bukan pernyataan.
Di
dalam diriku—manakala menyaksikan anak itu dalam gambar—seluruh bagian
tubuh terasa akan segera meledak. Berusaha menahan diri untuk tidak
berteriak-teriak, dan ingin berkelahi dengan siapapun yang melakukan hal
itu pada gadis semungil itu. Aku ingin bertengkar dengan keadaannya.
Aku merasa peristiwa itu nyata di depan mata kepalaku sendiri. Dan aku
merasa siap jadi pembunuh untuk orang yang memaksa gadis itu bertindak
demikian. Aku tak percaya bahwa hal itu yang sesungguhnya diinginkan
gadis kecil itu. Aku sungguh marah, terlebih pada diri sendiri, kenapa
kesan yang kudapat dari melihat karya itu begitu menohok hati dan
kepalaku begitu dalam. Keadaan anak itu seolah nyata dan ada seperti
dalam foto-fotonya. Aku merasa terpukul habis-habisan.
Aku
gelisah. Kemarahan dan keterkejutan menghantamku berjam-jam sesudahnya.
Sialan!!! Karena, aku hampir yakin bahwa keadaan yang dia alami bukan
pilihan. Pilihan adalah beberapa jalan yang tersodorkan dari
kemungkinan- kemungkinan.
Tapi
aku harus sadar bahwa itu foto rekayasa. Sebuah foto biasanya dianggap
realitas sebenarnya. Merekam kejadian nyata. Menghentikan sebuah
peristiwa. Kurasa Zhang Peng memanfaatkan keyakinan banyak orang
terhadap media foto tersebut. Jika dia menggunakan medium lainnya,
misalnya lukisan, mustahil akan menghasilkan efek yang sama seperti yang
kurasakan. Dan karenanya, menurutku, itu adalah pilihan medium yang
tepat dalam memahami kesadaran dan ketidaksadaran kolektif masyarakat
atas sebuah medium.
Rasa
tertohok dan terpukul itu kemudian redam ketika melihat katalognya di
galeri. Walaupun katanya terbatas dan sedang dicetak-ulang (mungkin
kalaupun beli pasti mahal karena tampak mewah). Terus-menerus aku
berpikir bagaimana cara mendapatkan katalognya. Aku sungguh terganggu
dengan karya ini. Dan aku ingin menyelesaikan persoalan dalam kepalaku
ini. Sudah tengah malam. Tapi aku harus mendapatkan katalognya, untuk
menyelesaikan persoalan dalam diriku sendiri. Andai pun harus membeli,
pasti kuusahakan. Syukurlah ternyata aku akhirnya mendapatkan katalog
itu tanpa membayar.
Katalog
itu sebenarnya, menurutku, dirancang dengan buruk. Menurutku ia dibuat,
disusun, dan ditata dengan warna latar belakang dan bahan sampul yang
berlebihan. Sampulnya dilapisi beludru hitam. Pinggirannya setiap lembar
di dalamnya berwarna keemasan. Tiap halamannya, yang cukup tebal bisa
untuk sampul sebuah buku, menggunakan ornamen atau corak warna coklat di
atas dasar hitam, agak gelap, dilapisi hingga kemilau. Di antara
halaman diselipkan kertas-kertas pembatas, untuk sementara karena bisa
dibuang, supaya tidak lengket saja permukaan halaman itu satu dengan
yang lain, takut nanti gambarnya rusak. Kalau mau melihat setiap halaman
dengan baik, kertasnya pembatasnya harus digeser agar tak menutupi,
lalu harus dikembalikan lagi dalam posisi semula, merepotkan. Belum lagi
jenis huruf yang digunakan di sampul (bahkan tiap halaman, judulnya,
menggunakan jenis huruf yang sama) seperti jenis huruf pada film horor,
huruf meleleh (apalagi) dengan warna emas di sampulnya yang beludru
hitam itu. Semua bagian menjadi penting, bahkan untuk hal-hal yang tak
perlu.
Sebagai
katalog, ia tidak mencerminkan pikiran bahwa hanya karya-karya saja
yang utama, yang penting untuk ditampilkan duluan. Katalog, yang hampir
semua bagiannya ditonjolkan sama kuat dan detil-detilnya jadi tanda yang
dipentingkan, membuatku lelah karena menuntut terlalu banyak perhatian.
Sampai ke per sekian milimeternya minta diperhatikan. Bukan hanya
gambar dan tulisannya saja, tetapi menjadikan katalognya secara
keseluruhan, minta agar diperlakukan sama dengan karya-karyanya. Sebagai
benda yang berfungsi mendokumentasikan sebuah peristiwa, yakni karya
dalam sebuah pameran, ia terlalu berlebihan menuntut orang.
Bagaimanapun,
katalog ini penting untuk tambahan catatan di kepalaku. Mengamati
dengan lebih teliti karya, satu demi satu, lagi dan lagi, dengan pikiran
dan hati lebih tenang, mencoba terbuka dan bisa melihatnya dengan
berbagai kemungkinan yang aku mampu, agar aku lebih sadar membaca detail
karya dengan hati-hati. Memberikan toleransi, kesempatan mengambil
jarak terhadap karya, dalam diri sendiri.
Persepsiku
atas karya Zhang Peng seperti yang kukemukakan tadi, sangat mungkin
tidak sama dengan persepsimu ketika melihat hal yang sama persis terjadi
di depan matamu. Dan juga, mungkin, buat orang- orang lainnya.
Aku
yakin, melihat, menelaah, mengkaji, dan mengupas suatu karya dan
peristiwa tidak akan pernah merupakan kegiatan yang objektif. Menurutku,
orang hanya bisa melakukannya sesuai dengan apa yang dimilikinya:
sesuai dengan sejarah, pengalaman dan pengetahuannya. Karena dia bukan
kegiatan yang objektif, tentu saja hasilnya pun sangat mungkin berbeda
atau berlainan, sama seperti berbedanya sejarah, pengetahuan, dan
pengalaman kita masing-masing.
Yang
menggelisahkanku, Farida, sekarang ini banyak orang memaksakan
pikirannya. Mereka tidak menghargai pilihan, menolak keberagaman, dan
dengan begitu menurutku mereka mau mengingkari perbedaan pengalaman,
sejarah, dan pengetahuan kita masing-masing.
Selama
ini aku percaya bahwa kebebasan manusia berada pada imajinasinya,
berada pada kegiatan berpikirnya, manakala ia menggunakan akalnya,
manakala ia membaca nalarnya dan mendengar nuraninya. Maka kalau itu
dirampas, jadi berbahaya bagi kemungkinan lahirnya pikiran yang sangat
mungkin berguna bagi kita.
Farida,
sepertinya aku sudah terlalu jauh berbicara. Ini hanya sebuah pikiran.
Yang mungkin harus aku pikirkan lagi. Dengan senang hati jika kamu mau
berbagi.
salam,
Posted in: Estetika
art deco
Mar-17-2009 By lili
Art
Deco berkembang pada tahun 1920 – 1939, namanya diperoleh dari
Exposition Internationale des Arts Décoratifs et Industriels Modernes,
sebuah eksibisi yang berlangsung di Paris pada tahun 1925. Seni ini
pertama kali dimulai oleh seniman Perancis ( Paris ) yang telah
berekperimen selama beberapa tahun untuk menciptakan seni ini. Setelah
perang dunia pertama, orang- orang menginginkan modernisasi, gaya yang
fungsional untuk furniture, perhiasan dan objek- objek dekoratif mereka.
Art
Deco mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior,
dan desain industri, maupun seni visual seperti misalnya fashion,
lukisan, seni grafis, dan film. Gerakan ini, dalam pengertian tertentu,
adalah gabungan dari berbagai gaya dan gerakan pada awal abad ke-20,
termasuk Konstruksionisme, Kubisme, Modernisme, Bauhaus, Art Nouveau,
dan Futurisme. Popularitasnya memuncak pada 1920-an. Meskipun banyak
gerakan desain mempunyai akar atau maksud politik atau filsafati, Art
Deco murni bersifat dekoratif. Pada masa itu, gaya ini dianggap anggun,
fungsional, dan ultra modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar