Jumat, 15 April 2016

Kain Tapis Lampung

Mar-31-2009 By lili
http://lili.staff.uns.ac.id/


Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terbentuknya kain tapis Lampung melalui tahapan dan periodisasi waktu yang panjang. Dalam proses perjalanannya terjadi berbagai penyempurnaan, baik dari aspek teknik dan keterampilan pembuatan, bentuk motif yang diterapkan, dan metode penerapan motif pada kain dasar tapis, menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Perjalanan sejarah perkembangan terbentuknya ragam hias, kain tapis Lampung mendapat berbagai pengaruh kebudayan lain, seiring dengan terjalinnya kontak, interaksi, dan komunikasi masyarakat adat Lampung dengan kebudayaan luar. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan gaya seni hias kain tapis antara lain, kebudayan Dongson dari daratan Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa.
Melalui proses yang panjang, akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama. Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas.
Nilai estetis kain tapis menyatu dalam beberapa azas dan ketentuan, yaitu (1) azas kesatuan organis, (2) azas tema atau konsep, (3) azas keseimbangan, (4) azas bertingkat, (5) azas kerumitan, dan (6) azas kesungguhan.
Kain tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang serupa pusaka keluarga.
Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistem kepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki (matrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepadun tingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh (kampung), (2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang suku yang membawahi beberapa nuwow balak (rumah adat). Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat yang menyesuaikan status sosialnya dalam  masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.
Dalam rentang perjalanannya, kain tapis tidak hanya menunjukkan suatu proses kontinum kelangsungannya, tetapi juga menampakkan terjadinya perubahan dan pengembangan dalam banyak aspek, seperti pada aspek fungsinya kain tapis berubah dari benda sacral yang terkait erat dengan adat dan kepercayaan masyarakat Lampung berubah menjadi benda profan dan sekuler yang berfungsi untuk komoditi pasar. Pada aspek produknya kain tapis tidak hanya berupa kain sarung adat, tetapi sudah mengalami modivikasi dan diversivikasi sehingga tercipta berbagai produk seni kerajinan kain tapis seperti, busana pesta, busana muslim, hiasan dinding, kaligrafi, partisi ruangan, perlengkapan kamar tidur, tas, dompet, kopiah, tempat tisu, dan sebagainya.
Pada aspek bentuk motif yang diterapkan tidak terjadi perubahan frontal, secara umum bentuk motifnya masih sama hanya terjadi perubahan seiring perubahan bentuk produk yang disertai pengembangan, modivikasi, variasi, penyederhanaan, dan sedikit penambahan. Perubahan signifikan terjadi pada penghilangan makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya. Motif kain tapis sekarang hanya dilihat dari aspek keindahannya semata.
Perubahan yang terjadi pada kain tapis Lampung terjadi seiring dengan perubahan masyarakat pendukungnya, seperti adanya interpretasi dan persepsi masyarakat Lampung terhadap kain tapis, keterbukaan masyarakat lampung terhadap berbagai inovasi, ide-ide, dan kreasi baru yang tercermin pada sifat dan watak nemui nyimah, dan nengah nyappur. Kecintaan, keinginan, dan sikap progresif para perajin kain tapis yang didukung bakat seni dan keterampilan teknik yang diturunkan generasi sebelumnya untuk melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan seni kerajinan kain tapis.
            Faktor eksternal yang mendorong terjadinya perubahan seni kerajinan kain tapis Lampung, selain berkembangnya dunia pariwisata daerah Lampung adalah adanya lembaga atau institusi pemerintah maupun swasta di Lampung yang berusaha mengembangkan seni kerajinan kain tapis dengan melakukan berbagai usaha, seperti program pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan untuk dapat meningkatkan kemampuan teknis, jiwa kewirausahaan, maupun manajemen usaha para perajin kain tapis. Pemerintah juga telah mengambil kebijakan penting dengan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan pemasaran.
Pembubaran lembaga adat Lampung (kepunyimbangan) oleh pemerintah juga ikut mendorong perubahan yang terjadi pada kain tapis. Dengan berubahnya struktur pemerintahan, maka lembaga dan organisasi sosial dalam masyarakat adat tidak lagi memiliki legitimasi. Lembaga adat (kepunyimbangan) yang berfungsi sebagai pagar sekaligus kontrol dalam rangka melindungi stabilitas atau equilibrium masyarakat tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Namun akan lebih baik seandainya keputusan pemerintah tentang penghapusan lembaga adat ditinjau kembali, karena adanya lembaga tersebut akan semakin memperkokoh eksistensi kain tapis Lampung.
Selain dampak sosial budaya yang berhasil melestarikan dan mempertahankan kelangsungan seni kerajinan kain tapis, perubahan yang terjadi pada kain tapis juga mempunyai dampak sosial ekonomi. Dampak perubahan kain tapis dari aspek ekonomi sudah jelas pada meningkatnya penghasilan para perajin. 

Soal Mid Test

Mar-31-2009 By lili
Tita untuk Farida Wardhani
Saat ini, aku hanya ingin menceritakan tentang salah satu pameran tunggal yang membuatku merasa terpukul. Waktu melihat karya seniman China, Zhang Peng, kelahiran 1981 tinggal di Beijing dan kebetulan sedang berpameran di galeri “Art Seasons” The Box-Singapore.
Karyanya berupa foto-foto yang dicetak dengan ukuran yang lumayan besar. Di dalam karya-karyanya, seorang anak perempuan (konon, usia empat tahun), yang bukan saja rata-rata didandani pakaian formal perempuan dewasa, bahkan ada yang didandani menggunakan gaun pengantin dan mahkota, ukuran orang dewasa. Sehingga ia tampak seperti sudah gadis, walaupun jelas, ia demikian belia. Dengan pemerah bibir dan pewarna, kelopak mata, kemerahan, belepotan. Di mulutnya, bagai bibir berlipstik yang telah dilumat. Dan disekitar kelopak matanya sedemikian rupa hingga jadi tampak memar.
Suasana yang dibentuk di dalam karya itu, begitu dramatis. Drama dalam bingkai itu, diciptakan dari detil-detilnya. Anak itu menggunakan pakaian sekujur panjang perempuan dewasa, hingga sisa gaun dari tubuhnya yang mungil, dibiarkan menjuntai jauh ke bawahnya, lebih dari dua kali melampaui ketinggian anak itu sendiri. Dari sisa gaun yang tak terisi tubuh anak itu, meninggalkan kekosongan. Tetesan, cairan menggenang, sapuan, percikan ataupun belepotan dari warna merah, mengingatkanku pada warna darah.
Tergeletak di atas sofa yang begitu besar untuk ukuran tubuhnya. Dalam beberapa foto, sofanya dilapisi kain berbulu. Kain berbulu, bagi orang sepertiku yang tinggal di negara tropis, lebih terbiasa dengan suhu yang lebih panas ketimbang dinginnya salju, jadi begitu artifisial. Begitu dibuat-buat. Tampak berlebihan dan palsu (begitupun jika hadir di Singapura, aku kira kurang lebih sama panas suhu udaranya dengan Indonesia). Dengan warna-warna jambon, maupun ragamnya, hingga merah hati.
Lilitan perhiasan yang biasa digunakan orang dewasa. Atau menggunakan baju balet putih dengan sepatunya yang berwarna merah, tengah duduk kelelahan. Berkaus pendek dan tengah terendam dalam bak mandi dengan air setengah badan. Dalam air merah pekat dengan tubuhnya tampak telanjang sebatas ketiak. Punggung telanjang dengan goresan merah bagai bekas pecutan. Dalam taburan kelopak mawar merah dengan tubuh yang agak mengambang. Atau lain gambar, dengan butiran mutiara palsu berwarna abu ataupun agak kejinggaan. Dan yang paling kacau, menurutku, ketika perutnya menggelembung seperti tengah hamil matang disandang tubuhnya yang masih kerempeng, berdada rata, masih jauh dari sebutan cukup umur.
Pada diri gadis mungil itu, kurasakan, kelelahan mental yang sangat. Apa yang terjadi dengannya, sangat mungkin adalah pemanfaatan atas kelemahannya. Pemanfaatan yang seperti ini, kukira, hanya bisa diciptakan oleh orang-orang dewasa, yang jauh lebih tua dan lebih kuat darinya. Tapi masalah dalam karya ini adalah: anak itu seolah mau melakukannya. Karena sikapnya yang begitu sempurna sebagai model, seolah bersedia terus-menerus berpose dengan berbagai cara, dan dia sungguh-sungguh, luar biasa, tampak kuat seolah menantang permintaan apapun yang datang kepadanya, dan dia seolah benar-benar melakukannya. Tidak ada perlawanan dan penolakan karena semuanya terlihat, bahwa dia, siap dengan segala risikonya. Apa adanya. Seperti semua itu bagian pekerjaan yang semestinya harus dia lakukan.
Di dalam seluruh karya itu, bola mata si gadis diperbesar, seperti setengah tercengang dengan tatapan mata ‘tak bersalah’, tampak polos, seolah pasrah tapi juga tegar, bagai tak mengerti tapi menantang, tampak lemah walau lebih dekat dengan menyebutnya tabah.
Seolah tengah menatap aku, tapi juga tidak sungguh melihat aku. Tatapannya seolah menembus yang dilihatnya. Nyaris seperti perasaan yang kudapat dari mata Monalisa-nya Da Vinci. Tapi tidak juga persis demikian. Walau sama-sama menerawang. Ada hal mendasar yang membedakannya. Tatapan orang dewasa dan tatapan yang datang dari bola mata anak-anak. Tatapan orang dewasa lebih menyatakan kepadaku bahwa itu adalah pilihan, kalaupun salah. Sedangkan tatapan menerawang anak ini, lebih tampak seperti tuduhan, bukan pernyataan.
Di dalam diriku—manakala menyaksikan anak itu dalam gambar—seluruh bagian tubuh terasa akan segera meledak. Berusaha menahan diri untuk tidak berteriak-teriak, dan ingin berkelahi dengan siapapun yang melakukan hal itu pada gadis semungil itu. Aku ingin bertengkar dengan keadaannya. Aku merasa peristiwa itu nyata di depan mata kepalaku sendiri. Dan aku merasa siap jadi pembunuh untuk orang yang memaksa gadis itu bertindak demikian. Aku tak percaya bahwa hal itu yang sesungguhnya diinginkan gadis kecil itu. Aku sungguh marah, terlebih pada diri sendiri, kenapa kesan yang kudapat dari melihat karya itu begitu menohok hati dan kepalaku begitu dalam. Keadaan anak itu seolah nyata dan ada seperti dalam foto-fotonya. Aku merasa terpukul habis-habisan.
Aku gelisah. Kemarahan dan keterkejutan menghantamku berjam-jam sesudahnya. Sialan!!! Karena, aku hampir yakin bahwa keadaan yang dia alami bukan pilihan. Pilihan adalah beberapa jalan yang tersodorkan dari kemungkinan- kemungkinan.
Tapi aku harus sadar bahwa itu foto rekayasa. Sebuah foto biasanya dianggap realitas sebenarnya. Merekam kejadian nyata. Menghentikan sebuah peristiwa. Kurasa Zhang Peng memanfaatkan keyakinan banyak orang terhadap media foto tersebut. Jika dia menggunakan medium lainnya, misalnya lukisan, mustahil akan menghasilkan efek yang sama seperti yang kurasakan. Dan karenanya, menurutku, itu adalah pilihan medium yang tepat dalam memahami kesadaran dan ketidaksadaran kolektif masyarakat atas sebuah medium.
Rasa tertohok dan terpukul itu kemudian redam ketika melihat katalognya di galeri. Walaupun katanya terbatas dan sedang dicetak-ulang (mungkin kalaupun beli pasti mahal karena tampak mewah). Terus-menerus aku berpikir bagaimana cara mendapatkan katalognya. Aku sungguh terganggu dengan karya ini. Dan aku ingin menyelesaikan persoalan dalam kepalaku ini. Sudah tengah malam. Tapi aku harus mendapatkan katalognya, untuk menyelesaikan persoalan dalam diriku sendiri. Andai pun harus membeli, pasti kuusahakan. Syukurlah ternyata aku akhirnya mendapatkan katalog itu tanpa membayar.
Katalog itu sebenarnya, menurutku, dirancang dengan buruk. Menurutku ia dibuat, disusun, dan ditata dengan warna latar belakang dan bahan sampul yang berlebihan. Sampulnya dilapisi beludru hitam. Pinggirannya setiap lembar di dalamnya berwarna keemasan. Tiap halamannya, yang cukup tebal bisa untuk sampul sebuah buku, menggunakan ornamen atau corak warna coklat di atas dasar hitam, agak gelap, dilapisi hingga kemilau. Di antara halaman diselipkan kertas-kertas pembatas, untuk sementara karena bisa dibuang, supaya tidak lengket saja permukaan halaman itu satu dengan yang lain, takut nanti gambarnya rusak. Kalau mau melihat setiap halaman dengan baik, kertasnya pembatasnya harus digeser agar tak menutupi, lalu harus dikembalikan lagi dalam posisi semula, merepotkan. Belum lagi jenis huruf yang digunakan di sampul (bahkan tiap halaman, judulnya, menggunakan jenis huruf yang sama) seperti jenis huruf pada film horor, huruf meleleh (apalagi) dengan warna emas di sampulnya yang beludru hitam itu. Semua bagian menjadi penting, bahkan untuk hal-hal yang tak perlu.
Sebagai katalog, ia tidak mencerminkan pikiran bahwa hanya karya-karya saja yang utama, yang penting untuk ditampilkan duluan. Katalog, yang hampir semua bagiannya ditonjolkan sama kuat dan detil-detilnya jadi tanda yang dipentingkan, membuatku lelah karena menuntut terlalu banyak perhatian. Sampai ke per sekian milimeternya minta diperhatikan. Bukan hanya gambar dan tulisannya saja, tetapi menjadikan katalognya secara keseluruhan, minta agar diperlakukan sama dengan karya-karyanya. Sebagai benda yang berfungsi mendokumentasikan sebuah peristiwa, yakni karya dalam sebuah pameran, ia terlalu berlebihan menuntut orang.
Bagaimanapun, katalog ini penting untuk tambahan catatan di kepalaku. Mengamati dengan lebih teliti karya, satu demi satu, lagi dan lagi, dengan pikiran dan hati lebih tenang, mencoba terbuka dan bisa melihatnya dengan berbagai kemungkinan yang aku mampu, agar aku lebih sadar membaca detail karya dengan hati-hati. Memberikan toleransi, kesempatan mengambil jarak terhadap karya, dalam diri sendiri.
Persepsiku atas karya Zhang Peng seperti yang kukemukakan tadi, sangat mungkin tidak sama dengan persepsimu ketika melihat hal yang sama persis terjadi di depan matamu. Dan juga, mungkin, buat orang- orang lainnya.
Aku yakin, melihat, menelaah, mengkaji, dan mengupas suatu karya dan peristiwa tidak akan pernah merupakan kegiatan yang objektif. Menurutku, orang hanya bisa melakukannya sesuai dengan apa yang dimilikinya: sesuai dengan sejarah, pengalaman dan pengetahuannya. Karena dia bukan kegiatan yang objektif, tentu saja hasilnya pun sangat mungkin berbeda atau berlainan, sama seperti berbedanya sejarah, pengetahuan, dan pengalaman kita masing-masing.
Yang menggelisahkanku, Farida, sekarang ini banyak orang memaksakan pikirannya. Mereka tidak menghargai pilihan, menolak keberagaman, dan dengan begitu menurutku mereka mau mengingkari perbedaan pengalaman, sejarah, dan pengetahuan kita masing-masing.
Selama ini aku percaya bahwa kebebasan manusia berada pada imajinasinya, berada pada kegiatan berpikirnya, manakala ia menggunakan akalnya, manakala ia membaca nalarnya dan mendengar nuraninya. Maka kalau itu dirampas, jadi berbahaya bagi kemungkinan lahirnya pikiran yang sangat mungkin berguna bagi kita.
Farida, sepertinya aku sudah terlalu jauh berbicara. Ini hanya sebuah pikiran. Yang mungkin harus aku pikirkan lagi. Dengan senang hati jika kamu mau berbagi.
salam,

art deco

Mar-17-2009 By lili
Art Deco berkembang pada tahun 1920 – 1939, namanya diperoleh dari Exposition Internationale des Arts Décoratifs et Industriels Modernes, sebuah eksibisi yang berlangsung di Paris pada tahun 1925. Seni ini pertama kali dimulai oleh seniman Perancis ( Paris ) yang telah berekperimen selama beberapa tahun untuk menciptakan seni ini. Setelah perang dunia pertama, orang- orang menginginkan modernisasi, gaya yang fungsional untuk furniture, perhiasan dan objek- objek dekoratif mereka.
Art Deco mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan desain industri, maupun seni visual seperti misalnya fashion, lukisan, seni grafis, dan film. Gerakan ini, dalam pengertian tertentu, adalah gabungan dari berbagai gaya dan gerakan pada awal abad ke-20, termasuk Konstruksionisme, Kubisme, Modernisme, Bauhaus, Art Nouveau, dan Futurisme. Popularitasnya memuncak pada 1920-an. Meskipun banyak gerakan desain mempunyai akar atau maksud politik atau filsafati, Art Deco murni bersifat dekoratif. Pada masa itu, gaya ini dianggap anggun, fungsional, dan ultra modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar