Tita untuk Farida Wardhani
Saat
ini, aku hanya ingin menceritakan tentang salah satu pameran tunggal
yang membuatku merasa terpukul. Waktu melihat karya seniman China, Zhang Peng, kelahiran 1981 tinggal di Beijing dan kebetulan sedang berpameran di galeri “Art Seasons” The Box-Singapore.
Karyanya
berupa foto-foto yang dicetak dengan ukuran yang lumayan besar. Di
dalam karya-karyanya, seorang anak perempuan (konon, usia empat tahun),
yang bukan saja rata-rata didandani pakaian formal perempuan dewasa,
bahkan ada yang didandani menggunakan gaun pengantin dan mahkota, ukuran
orang dewasa. Sehingga ia tampak seperti sudah gadis, walaupun jelas,
ia demikian belia. Dengan pemerah bibir dan pewarna, kelopak mata,
kemerahan, belepotan. Di mulutnya, bagai bibir berlipstik yang telah
dilumat. Dan disekitar kelopak matanya sedemikian rupa hingga jadi
tampak memar.
Suasana
yang dibentuk di dalam karya itu, begitu dramatis. Drama dalam bingkai
itu, diciptakan dari detil-detilnya. Anak itu menggunakan pakaian
sekujur panjang perempuan dewasa, hingga sisa gaun dari tubuhnya yang
mungil, dibiarkan menjuntai jauh ke bawahnya, lebih dari dua kali
melampaui ketinggian anak itu sendiri. Dari sisa gaun yang tak terisi
tubuh anak itu, meninggalkan kekosongan. Tetesan, cairan menggenang,
sapuan, percikan ataupun belepotan dari warna merah, mengingatkanku pada
warna darah.
Tergeletak
di atas sofa yang begitu besar untuk ukuran tubuhnya. Dalam beberapa
foto, sofanya dilapisi kain berbulu. Kain berbulu, bagi orang sepertiku
yang tinggal di negara tropis, lebih terbiasa dengan suhu yang lebih
panas ketimbang dinginnya salju, jadi begitu artifisial. Begitu
dibuat-buat. Tampak berlebihan dan palsu (begitupun jika hadir di
Singapura, aku kira kurang lebih sama panas suhu udaranya dengan
Indonesia). Dengan warna-warna jambon, maupun ragamnya, hingga merah
hati.
Lilitan
perhiasan yang biasa digunakan orang dewasa. Atau menggunakan baju
balet putih dengan sepatunya yang berwarna merah, tengah duduk
kelelahan. Berkaus pendek dan tengah terendam dalam bak mandi dengan air
setengah badan. Dalam air merah pekat dengan tubuhnya tampak telanjang
sebatas ketiak. Punggung telanjang dengan goresan merah bagai bekas
pecutan. Dalam taburan kelopak mawar merah dengan tubuh yang agak
mengambang. Atau lain gambar, dengan butiran mutiara palsu berwarna abu
ataupun agak kejinggaan. Dan yang paling kacau, menurutku, ketika
perutnya menggelembung seperti tengah hamil matang disandang tubuhnya
yang masih kerempeng, berdada rata, masih jauh dari sebutan cukup umur.
Pada
diri gadis mungil itu, kurasakan, kelelahan mental yang sangat. Apa
yang terjadi dengannya, sangat mungkin adalah pemanfaatan atas
kelemahannya. Pemanfaatan yang seperti ini, kukira, hanya bisa
diciptakan oleh orang-orang dewasa, yang jauh lebih tua dan lebih kuat
darinya. Tapi masalah dalam karya ini adalah: anak itu seolah mau
melakukannya. Karena sikapnya yang begitu sempurna sebagai model, seolah
bersedia terus-menerus berpose dengan berbagai cara, dan dia
sungguh-sungguh, luar biasa, tampak kuat seolah menantang permintaan
apapun yang datang kepadanya, dan dia seolah benar-benar melakukannya.
Tidak ada perlawanan dan penolakan karena semuanya terlihat, bahwa dia,
siap dengan segala risikonya. Apa adanya. Seperti semua itu bagian
pekerjaan yang semestinya harus dia lakukan.
Di
dalam seluruh karya itu, bola mata si gadis diperbesar, seperti
setengah tercengang dengan tatapan mata ‘tak bersalah’, tampak polos,
seolah pasrah tapi juga tegar, bagai tak mengerti tapi menantang, tampak
lemah walau lebih dekat dengan menyebutnya tabah.
Seolah
tengah menatap aku, tapi juga tidak sungguh melihat aku. Tatapannya
seolah menembus yang dilihatnya. Nyaris seperti perasaan yang kudapat
dari mata Monalisa-nya Da Vinci. Tapi tidak juga persis demikian. Walau
sama-sama menerawang. Ada hal mendasar yang membedakannya. Tatapan orang
dewasa dan tatapan yang datang dari bola mata anak-anak. Tatapan orang
dewasa lebih menyatakan kepadaku bahwa itu adalah pilihan, kalaupun
salah. Sedangkan tatapan menerawang anak ini, lebih tampak seperti
tuduhan, bukan pernyataan.
Di
dalam diriku—manakala menyaksikan anak itu dalam gambar—seluruh bagian
tubuh terasa akan segera meledak. Berusaha menahan diri untuk tidak
berteriak-teriak, dan ingin berkelahi dengan siapapun yang melakukan hal
itu pada gadis semungil itu. Aku ingin bertengkar dengan keadaannya.
Aku merasa peristiwa itu nyata di depan mata kepalaku sendiri. Dan aku
merasa siap jadi pembunuh untuk orang yang memaksa gadis itu bertindak
demikian. Aku tak percaya bahwa hal itu yang sesungguhnya diinginkan
gadis kecil itu. Aku sungguh marah, terlebih pada diri sendiri, kenapa
kesan yang kudapat dari melihat karya itu begitu menohok hati dan
kepalaku begitu dalam. Keadaan anak itu seolah nyata dan ada seperti
dalam foto-fotonya. Aku merasa terpukul habis-habisan.
Aku
gelisah. Kemarahan dan keterkejutan menghantamku berjam-jam sesudahnya.
Sialan!!! Karena, aku hampir yakin bahwa keadaan yang dia alami bukan
pilihan. Pilihan adalah beberapa jalan yang tersodorkan dari
kemungkinan- kemungkinan.
Tapi
aku harus sadar bahwa itu foto rekayasa. Sebuah foto biasanya dianggap
realitas sebenarnya. Merekam kejadian nyata. Menghentikan sebuah
peristiwa. Kurasa Zhang Peng memanfaatkan keyakinan banyak orang
terhadap media foto tersebut. Jika dia menggunakan medium lainnya,
misalnya lukisan, mustahil akan menghasilkan efek yang sama seperti yang
kurasakan. Dan karenanya, menurutku, itu adalah pilihan medium yang
tepat dalam memahami kesadaran dan ketidaksadaran kolektif masyarakat
atas sebuah medium.
Rasa
tertohok dan terpukul itu kemudian redam ketika melihat katalognya di
galeri. Walaupun katanya terbatas dan sedang dicetak-ulang (mungkin
kalaupun beli pasti mahal karena tampak mewah). Terus-menerus aku
berpikir bagaimana cara mendapatkan katalognya. Aku sungguh terganggu
dengan karya ini. Dan aku ingin menyelesaikan persoalan dalam kepalaku
ini. Sudah tengah malam. Tapi aku harus mendapatkan katalognya, untuk
menyelesaikan persoalan dalam diriku sendiri. Andai pun harus membeli,
pasti kuusahakan. Syukurlah ternyata aku akhirnya mendapatkan katalog
itu tanpa membayar.
Katalog
itu sebenarnya, menurutku, dirancang dengan buruk. Menurutku ia dibuat,
disusun, dan ditata dengan warna latar belakang dan bahan sampul yang
berlebihan. Sampulnya dilapisi beludru hitam. Pinggirannya setiap lembar
di dalamnya berwarna keemasan. Tiap halamannya, yang cukup tebal bisa
untuk sampul sebuah buku, menggunakan ornamen atau corak warna coklat di
atas dasar hitam, agak gelap, dilapisi hingga kemilau. Di antara
halaman diselipkan kertas-kertas pembatas, untuk sementara karena bisa
dibuang, supaya tidak lengket saja permukaan halaman itu satu dengan
yang lain, takut nanti gambarnya rusak. Kalau mau melihat setiap halaman
dengan baik, kertasnya pembatasnya harus digeser agar tak menutupi,
lalu harus dikembalikan lagi dalam posisi semula, merepotkan. Belum lagi
jenis huruf yang digunakan di sampul (bahkan tiap halaman, judulnya,
menggunakan jenis huruf yang sama) seperti jenis huruf pada film horor,
huruf meleleh (apalagi) dengan warna emas di sampulnya yang beludru
hitam itu. Semua bagian menjadi penting, bahkan untuk hal-hal yang tak
perlu.
Sebagai
katalog, ia tidak mencerminkan pikiran bahwa hanya karya-karya saja
yang utama, yang penting untuk ditampilkan duluan. Katalog, yang hampir
semua bagiannya ditonjolkan sama kuat dan detil-detilnya jadi tanda yang
dipentingkan, membuatku lelah karena menuntut terlalu banyak perhatian.
Sampai ke per sekian milimeternya minta diperhatikan. Bukan hanya
gambar dan tulisannya saja, tetapi menjadikan katalognya secara
keseluruhan, minta agar diperlakukan sama dengan karya-karyanya. Sebagai
benda yang berfungsi mendokumentasikan sebuah peristiwa, yakni karya
dalam sebuah pameran, ia terlalu berlebihan menuntut orang.
Bagaimanapun,
katalog ini penting untuk tambahan catatan di kepalaku. Mengamati
dengan lebih teliti karya, satu demi satu, lagi dan lagi, dengan pikiran
dan hati lebih tenang, mencoba terbuka dan bisa melihatnya dengan
berbagai kemungkinan yang aku mampu, agar aku lebih sadar membaca detail
karya dengan hati-hati. Memberikan toleransi, kesempatan mengambil
jarak terhadap karya, dalam diri sendiri.
Persepsiku
atas karya Zhang Peng seperti yang kukemukakan tadi, sangat mungkin
tidak sama dengan persepsimu ketika melihat hal yang sama persis terjadi
di depan matamu. Dan juga, mungkin, buat orang- orang lainnya.
Aku
yakin, melihat, menelaah, mengkaji, dan mengupas suatu karya dan
peristiwa tidak akan pernah merupakan kegiatan yang objektif. Menurutku,
orang hanya bisa melakukannya sesuai dengan apa yang dimilikinya:
sesuai dengan sejarah, pengalaman dan pengetahuannya. Karena dia bukan
kegiatan yang objektif, tentu saja hasilnya pun sangat mungkin berbeda
atau berlainan, sama seperti berbedanya sejarah, pengetahuan, dan
pengalaman kita masing-masing.
Yang
menggelisahkanku, Farida, sekarang ini banyak orang memaksakan
pikirannya. Mereka tidak menghargai pilihan, menolak keberagaman, dan
dengan begitu menurutku mereka mau mengingkari perbedaan pengalaman,
sejarah, dan pengetahuan kita masing-masing.
Selama
ini aku percaya bahwa kebebasan manusia berada pada imajinasinya,
berada pada kegiatan berpikirnya, manakala ia menggunakan akalnya,
manakala ia membaca nalarnya dan mendengar nuraninya. Maka kalau itu
dirampas, jadi berbahaya bagi kemungkinan lahirnya pikiran yang sangat
mungkin berguna bagi kita.
Farida,
sepertinya aku sudah terlalu jauh berbicara. Ini hanya sebuah pikiran.
Yang mungkin harus aku pikirkan lagi. Dengan senang hati jika kamu mau
berbagi.
salam,